Suatu sore di akhir pekan, di pintu masuk lapangan sekolah.
Langit masih mendung dan kelabu, seolah-olah bisa hujan deras kapan saja.
SUNOO berjalan kaki jauh-jauh ke lapangan hanya karena sebuah pesan singkat.
Kalimat singkat itu terus mengganggu pikirannya—"Apa kabar?" Dia merasa sedikit konyol karena tidak menjawab, tetapi yang lebih rumit adalah semua kata-kata yang tak terucapkan yang tersembunyi di balik satu kalimat itu.
"Rasanya seperti sudah ada sejak lama... di tempat ini."
Sunoo bergumam, kenangan-kenangan muncul saat dia berjalan menuju gimnasium.
Kemudian-
Gerbang itu berderit, dan matanya bertatapan dengan seseorang yang berdiri di sisi seberang.
Seorang pria dengan topi yang ditarik rendah dan tangan di saku. Lekukan bahunya yang familiar, cara berjalannya—tidak mungkin salah mengenalinya.
Itu adalah JL.
Sunoo berkedip, terkejut, tetapi mencoba untuk tetap tenang, berpura-pura tidak ada yang salah. JL juga tampak terkejut.
“…Sudah lama sekali.”
SUNOO berbicara lebih dulu.
"Mengapa kamu di sini?"
JL menjawab. Suaranya terdengar biasa saja, tetapi memiliki nada yang tegas.
"Hanya jalan-jalan."
kata SUNOO.
"Sama seperti saya. Kebetulan murni."
JL menyipitkan matanya.
"...Anggap saja itu kebetulan. Lalu mengapa hanya satu baris? Hanya itu?"
SUNOO melontarkan pertanyaan dengan cepat; tiga tahun rasa sakit dan kejengkelan yang terpendam tersirat dalam nada bicaranya.
"Seharusnya satu baris saja sudah cukup. Aku tidak menyangka kau akan hancur karenanya."
Wajah JL mengeras. Singkat. Dingin. Kata-kata itu terasa seperti sengatan.
"Aku memang hancur. Apa kau tidak ingat bagaimana kau pergi?"
SUNOO membalas.
"Kau menghilang seolah melarikan diri, tanpa penjelasan. Sementara dunia memujimu, aku hanya bisa menatap kursi kosong yang kau tinggalkan."
Sunoo menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana itu bisa dibenarkan?"
"Apakah itu dibenarkan? Kau terus menghancurkan mimpiku."
Mata JL terbuka lebar dan suaranya meninggi.
"Kau selalu bilang, 'Berhenti,' 'Kau tidak bisa melakukannya.' Kau tidak pernah percaya padaku."
Aku hanya ingin tahu bagaimana pendapatmu tentangku."
"Jadi, menurut Anda 'keyakinan' itu apa—dukungan tanpa syarat?"
Kemarahan SUNOO berkobar.
"Mengatakan yang sebenarnya kepadaku adalah bentuk kepedulianku. Siapa yang akan bertanggung jawab jika kamu terluka?"
Menurutmu, bisakah aku berpura-pura tidak melihat itu?"
Suara mereka semakin keras. Tidak ada orang di sekitar, tetapi kata-kata itu membuat udara bergetar.
Tetesan hujan pertama mulai turun. Air membasahi kerah baju mereka; bahkan burung-burung yang biasanya bercicit pun terdiam.
"Aku ingin kau memberiku kepastian."
JL melangkah lebih dekat, tatapannya lebih tajam dari sebelumnya.
"Ketidakpercayaanmu tidak menghancurkan mimpiku, tetapi 'kenyataan'mu terus membuatku merasa kecil. Apa yang kau sebut sebagai penghiburan terasa seperti izin untuk menyerah."
"Tapi itu bukan berarti kamu bisa pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun."
Sunoo mengertakkan giginya. "Yang kau tinggalkan hanyalah pertanyaan dan luka. Apakah persahabatan kita begitu ringan bagimu?"
Hujan bercampur dengan bulu mata JL—entah dari langit atau sesuatu yang lain, dia tidak tahu. Dia menghela napas gemetar.
"Kamu tetap sama seperti dulu."
JL berkata pelan, "Kau hanya melihat apa yang membuatmu nyaman."
"Kamu selalu berpikir caramu adalah satu-satunya cara yang benar."
SUNOO tidak menyerah. "Jadi kau pergi, dan aku tetap di sini, mengajukan pertanyaan. Apakah itu adil?"
"Kamu tidak mengerti aku."
JL menoleh; bibirnya bergetar. "Kau selalu memilih pilihan yang aman. Jadi aku—"
Dia tidak bisa menyelesaikannya, dan segera melangkah pergi, lebih jauh ke tengah ladang saat hujan semakin deras.
"Kamu masih sama seperti dulu."
Suara JL kecil namun tak salah lagi. Setelah itu, dia berjalan pergi, membiarkan hujan membasahi rambut dan pakaiannya.
Sunoo memperhatikan sosoknya yang menjauh dalam diam, napasnya tertahan. Untuk sesaat, rasanya seperti masa lalu terulang kembali—JL pergi tanpa sepatah kata pun.
Sunoo merasakan sesuatu mengeras di dalam dirinya; ia membayangkan dirinya membeku, tak berdaya seperti sebelumnya. Ia bertekad tidak akan membiarkan hal itu berakhir seperti itu lagi.
SUNOO mulai berlari.
Dia meluncur melintasi rerumputan menuju kios tempat payung disimpan, mengambil payung lipat kecil, dan tidak berhenti meskipun hujan deras menerpa wajahnya.
JL terus berjalan; suara air mengikutinya. Saat melewati tikungan terakhir, SUNOO melihat JL membungkuk, mengibaskan air dari tangannya.
"Tunggu-"
Sunoo terengah-engah, memperpendek jarak.
"Mengapa kamu mengikutiku?"
JL menoleh ke belakang, matanya masih berkaca-kaca, suaranya serak.
"Karena kau… kau sama saja, dan aku takut aku akan melarikan diri lagi."
Sunoo membuka payung dan menenangkan napasnya. Tangannya gemetar, tetapi nadanya tegas.
"Aku tidak ingin membiarkanmu pergi begitu saja seperti sebelumnya."
Dalam kata-katanya, terdapat penyesalan, rasa malu, dan cinta yang belum pudar.
Sunoo dengan cepat memegang payung di atas kepala JL. Hujan menerpa celah di antara mereka. Bahu mereka semakin dekat tetapi tidak bersentuhan; di bawah payung mereka menciptakan dunia kecil yang mereka bagi bersama.
"Apakah kamu… benar-benar berubah?"
JL menatap Sunoo yang memegang payung, matanya melebar, seolah menyembunyikan sesuatu.
"Aku tidak mau kembali tidak melakukan apa-apa."
SUNOO berhasil menampilkan senyum kecil yang dipaksakan.
"Aku tidak mau hanya berdiri dan melihatmu pergi lagi."
Mereka saling menatap lama—tanpa kata-kata, tetapi seribu percakapan dan seribu hutang terucap di antara mereka.
Hujan semakin deras. Di bawah satu payung itu, mata mereka bersinar sedemikian rupa sehingga membuat segalanya menjadi sunyi.
Jarak di antara mereka tetap ada, tetapi untuk sementara, sebuah payung sempat menjembatani jarak tersebut.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung... >>
