Penulis: sjnarwhal

Aku menahan napas saat mendengarkannya. Rumah sakit? Apakah orang ini benar-benar akan berdiri di hadapan kita lagi sekarang?
"Anda datang ke sini sekarang untuk memberi tahu kami apa yang harus kami lakukan?"
Aku menatap Jimin dengan tatapan dingin. Dia sudah lama belajar menyembunyikan emosinya dariku, tapi aku tahu. Saat dia mengatakan hal seperti itu, dia sudah mengambil keputusan.
Jimin menatapku tanpa berkata apa-apa, matanya seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi apa pun yang dia katakan, aku tidak akan menerimanya.
"Ada memar di lengan anak itu. Bisa jadi hanya memar biasa, tapi untuk berjaga-jaga."
Dia berbicara dengan tenang, namun tatapannya tak pernah lepas dari mataku sedetik pun.
"Aku akan mengurusnya. Kamu tidak perlu khawatir tentang anak kita."
"Anak kita," Jimin mengulangi dengan lembut. Dia bisa merasakan emosi yang terpendam dalam kata-katanya. "Apakah kau benar-benar berpikir begitu?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya menunjuk ke arah pintu dan berbicara lagi.
"Pergi sekarang."
Namun Jimin tidak bergerak. Malahan, dia melangkah lebih dekat. Aromanya yang semakin dekat membuatku terengah-engah. Aroma yang familiar, namun sudah lama bukan lagi milikku.
"Nyonya saya."
Suara itu memanggil namaku lagi. Suaranya begitu lembut, namun pada saat yang sama, terasa seperti mendorongku ke jurang.
Aku menarik napas dalam-dalam lagi. Aku tidak bisa membiarkan ini berantakan.
"Kita sudah selesai. Sudah dua tahun sejak kita bercerai. Kita baik-baik saja selama waktu itu. Jadi jangan lakukan ini lagi."
"Kamu hidup dengan baik?"
Senyum tipis terlintas di wajah Jimin, tetapi matanya tidak tersenyum.
"Lalu mengapa masih ada bekas cincin di tangan kirimu?"
Secara naluriah aku menutupi tanganku. Tapi sudah terlambat. Dia telah melihatnya.
"Kamu pergi duluan."
Kata-kata lembutku lenyap begitu saja.
Ekspresi Jimin membeku sesaat. Dadanya naik turun perlahan saat ia menarik napas dalam-dalam.
"Ya, aku pergi. Tapi kau tahu, bukan hanya aku yang pergi."
Aku menatap lurus ke arahnya. Baru saat itulah aku menyadari bahwa tanganku gemetar tanpa kusadari.
Jimin terdiam sejenak, lalu berbicara dengan suara rendah dan tenang.
"Besok jam 10 pagi. Sampai jumpa di rumah sakit."
Lalu dia berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Aku memperhatikannya berjalan pergi, mencengkeram erat gagang pintu yang dingin.
Mengapa sekarang?
Mengapa kau muncul di hadapanku lagi, Park Jimin?
Keesokan harinya, di depan rumah sakit.
Aku berdiri di pintu masuk rumah sakit, menggenggam tangan anak itu erat-erat. Jimin sudah ada di sana. Dia mengenakan mantel hitam, memegang secangkir kopi di satu tangan, dan begitu melihatku, dia diam-diam mendekatiku.
"Kamu sudah sampai di sini."
Aku mengangguk tanpa suara. Anak itu, tampak gembira, berlari ke arah Jimin dan meraih tangannya. Melihatnya, aku tak bisa menahan perasaan campur aduk yang kompleks.
Setelah memasuki ruang pemeriksaan, dokter melakukan pemeriksaan sederhana. Untungnya, tidak ada masalah besar. Namun, setelah pemeriksaan, Jimin mengatakan sesuatu yang tak terduga.
"Nyonya, mari kita bicara."
Saya bingung. Di mana anak itu?
"Apa yang ingin kamu sampaikan?"
"Malam itu, tentang alasan aku pergi."
Untuk sesaat, pikiranku kosong.
Malam itu. Dua tahun lalu, tepat malam ketika semuanya hancur berantakan.
Aku menggigit bibirku pelan. Apakah aku benar-benar siap menceritakan kisah itu sekarang?
Jimin ragu sejenak, lalu membuka mulutnya lagi.
"Ada sesuatu yang tidak kau ketahui. Hari itu, aku..."
Suaranya serak. Seolah-olah ada rahasia yang lebih besar, sebuah kisah tersembunyi.
Aku menatapnya tajam, tanganku mengepal.
"Aku tidak mau mendengar apa pun lagi."
Tapi Jimin hanya menatapku dan berkata.
"Tetap saja, kau harus mendengarnya. Alasan mengapa kau sangat membenciku, alasan sebenarnya mengapa aku pergi hari itu."
Saat itu, telepon berdering di lorong rumah sakit. Aku mengangkatnya dengan ekspresi gugup.
Dan saat aku melihat nama itu di layar, hatiku langsung ciut.
