Seorang wanita cantik berdiri di depan Yeonjun. Yeonjun hanya menatapnya dengan ekspresi kosong. Ketika wanita itu menatapnya dengan ekspresi terkejut, Yeonjun akhirnya tersadar dan memperkenalkan diri serta menjelaskan alasannya berada di sana. Wanita itu menatap Yeonjun dengan iba.
“Bisakah Anda mengizinkan saya tinggal di sini hanya untuk satu hari saja…?”
Wanita itu dengan ragu-ragu bertanya pada Yeonjun, berpikir bahwa ia akan baik-baik saja setidaknya untuk sehari, mengingat penderitaan anak itu. Setelah memberi Yeonjun roti dan tempat tidur, wanita itu menuju ke kamarnya.
Di tengah malam, hujan deras, kilat menyambar, dan guntur bergemuruh, Yeonjun terbangun dengan kaget. Yeonjun, yang biasanya takut guntur, mencoba menutupi kepalanya dengan selimut, tetapi itu tidak menghalangi suara guntur. Yeonjun bangun dari tempat tidur dengan bantal, berpikir dia harus pergi menemui wanita itu. Yeonjun keluar dari kamar dan berjalan, bertanya-tanya bagaimana dia akan menemukan wanita itu di menara besar ini. Dan kemudian dia mendengar suara seorang wanita dari belakangnya.
“Mengapa kamu di sini?”
Wanita itu bertanya kepada Yeonjun mengapa dia berada di lorong di tengah malam, dan Yeonjun mengatakan bahwa dia sebenarnya takut petir, lalu menunjukkan bantal yang dipegangnya dan bertanya apakah dia bisa tidur bersamanya. Wanita itu setuju untuk tidur bersamanya, berpikir bahwa seorang anak mungkin takut petir.
Yeonjun pergi ke kamar wanita itu dan dengan hati-hati berbaring di tempat tidur. Wanita itu meniup lilin di tangannya dan berbaring perlahan di samping Yeonjun. Yeonjun sangat menggemaskan ketika ia melompat setiap kali mendengar guntur. Yeonjun tampak merasa tenang karena ada seseorang di sampingnya.
Keesokan paginya, saat matahari terbit dan embun mulai terbentuk di dedaunan hutan, Yeonjun terbangun. Wanita di sebelahnya menghilang, dan dia melihat sekeliling sebelum keluar dari kamar. Sambil melihat sekeliling, Yeonjun mendengar suara dari dapur dan mempercepat langkahnya.
“Oh, kamu sudah bangun.”
Mulut Yeonjun berair karena aroma manisnya. Ia menggigitnya atas ajakan wanita itu dan merasa seolah berada di taman bunga. Yeonjun menghabiskan pai itu dalam sekejap, dan wanita itu menatapnya dengan puas. Pada saat itu, Yeonjun tiba-tiba menjadi penasaran.
“Aku punya pertanyaan. Apakah kau benar-benar seorang penyihir?”
