Ingat semua hari yang kamu lupakan

11

Jungkook kembali duduk di dekat jendela hari ini. Wajahnya tampak acuh tak acuh seperti beberapa hari yang lalu, tetapi di balik ketidakpeduliannya itu, jejak penantiannya padaku masih terasa. Profilnya yang terpantul di jendela tampak tenang, namun di dalam keheningan itu, seolah menyimpan emosi yang telah terakumulasi seiring waktu.

 

 

Aku tahu aku tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu.

 

Nampan di tanganku terasa anehnya berat. Aku pura-pura menyingkirkan gelas kosong dan mendekati mejanya. Saat aku semakin dekat, jantungku mulai berdetak tidak teratur, dan kakiku terus terasa ingin berhenti. Tapi kali ini, aku tidak bisa mundur.

 

 

“Sejak hari itu…”

 

 

Suaraku bergetar tanpa sengaja. Dia mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke wajahku. Rasanya seperti dia tersedak, tetapi dia melanjutkan sebelum terlambat.

 

 

“…Aku takut untuk berdiri di atas panggung lagi.”

 

 

Tatapan Jeongguk bergetar. Aku tidak mengalihkan pandangan. Rasa takut yang telah lama terpendam, jauh di dalam dadaku, tiba-tiba muncul.

 

 

“Bukan kamu yang kutakuti, melainkan diriku sendiri.”

 

“Aku takut satu kesalahan kecil akan merusak segalanya… Aku takut aku akan melepaskan tanganmu lagi.”

“Aku takut jika aku melakukan itu, aku akan kehilanganmu juga.”

 

 

Saat aku berbicara, air mata menggenang di sekitar mataku. Rasanya seolah semua emosi yang selama ini kutahan meledak sekaligus.

 

 

 

Saat aku ambruk di atas panggung, ingatan akan lampu yang mengungkap kesalahanku, rasa kehilangan yang melumpuhkan yang kurasakan saat aku membelakangi lampu itu. Semuanya terjalin dan tercurah dalam sebuah pengakuan di hadapan Jeongguk.

 

 

Jungkook terdiam sejenak. Sebaliknya, tanpa mengalihkan pandangannya dariku, dia perlahan mengulurkan tangannya. Isyarat itu bukan sekadar penghiburan, tetapi juga jaminan yang telah lama dinantikan.

 

 

"tahu."

 

 

Sebuah kata singkat sampai ke telingaku.

 

 

"Jadi aku tidak akan memaksamu. Kamu tidak perlu berdiri di atas panggung lagi. Sekalipun yang kamu korbankan adalah impianmu, kamu tetap segalanya bagiku."

 

 

Suaranya rendah namun tegas. Tidak ada rasa dendam atau kekecewaan dalam kata-katanya. Hanya pengertian dan penerimaan.

Aku mengangguk, menahan air mata. Pada saat itu, beban yang selama ini kupikul terasa sedikit terangkat.

 

 

"Tetapi…"

 

 

Jeongguk mengambil waktu sejenak untuk mengatur napas, lalu melanjutkan.

 

 

“Biarkan aku berada di sisimu. Tidak harus di atas panggung.”

“Hanya berada di tempat yang sama denganmu saja sudah cukup.”

 

 

Aku merenungkan kata-kata itu untuk waktu yang lama. Mimpi-mimpi yang hancur dan kenangan-kenangan kejam masih membelengguku, tetapi pada saat yang sama, perasaanku padanya jelas masih ada.

 

 

Yang kutakutkan bukanlah panggungnya, melainkan terluka lagi, dan luka itu akan membuatku menjauhinya. Tapi Jungkook tidak pernah memunggungiku.

 

 

/

Matahari terbenam di luar jendela. Cahaya merah menyebar di kaca, tumpang tindih dengan bayangan kedua sosok itu. Aku tak lagi menundukkan kepala. Melalui pandanganku yang dipenuhi air mata, aku menatap langsung ke wajah Jeongguk. Di matanya terpancar kepastian yang lahir dari penantian panjang.

 

 

Perlahan, sangat perlahan, aku meletakkan tanganku di atas tangannya. Kehangatan menyebar melalui ujung jariku. Itu sentuhan sederhana, tetapi mengandung semua yang selama ini kami coba pertahankan.

 

 

 

Saat itu juga aku tahu.

Yang kami coba lindungi adalah panggungnya,

Ini bahkan bukan mimpi.

 

 

 

Itu adalah satu sama lain.