Ingat semua hari yang kamu lupakan

8

Saat aku melangkah keluar dari kafe, hujan sudah mulai menggenang di jalan. Tepat ketika aku hendak mengambil payungku, mataku bertemu dengan mata Jeongguk, yang berdiri di dekat pintu masuk. Dia sudah membuka payungnya, melirikku, lalu tanpa berkata apa-apa menarik gagangnya sedikit lebih ke dalam.

 

 

“Ikutlah denganku.”

 


Kata-katanya lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan. Sebelum aku sempat menolak, hujan semakin deras tak terkendali. Dengan enggan aku melangkah di bawah payungnya. Bahu kami bersentuhan, udara dingin mendekat ke kehangatan tubuhnya.

 

 

Payungnya sempit, dan tetesan hujan terus membasahi sisi tubuh kami. Lampu-lampu jalan tampak buram di atas air, dan langkah kaki kami di bawahnya anehnya selaras dengan iramanya. Ruang di bawah payung sempit, tetapi keheningan terasa lebih nyaring. Jungkook berdiri di sampingku sejenak sebelum akhirnya bertanya dengan suara rendah.

 

 

“Mengapa kamu pura-pura tidak tahu? Kamu ingat semuanya.”

 

 

Aku kehabisan napas dan terlambat menjawab. Tapi aku tidak bisa menghindar lagi.

 


“…Bukan kamu, tapi akulah yang takut.”

 

 

Tatapan Jeongguk goyah. Tapi dia tidak mundur.

 


“Kamu takut? Apa yang membuatmu begitu takut?”

 

 

Aku menundukkan pandangan ke jalan yang basah kuyup karena hujan. Jari-jari kakiku menyentuh air, tenggelam dengan dingin. Adegan-adegan yang tak ingin kuingat tiba-tiba muncul, membuat jantungku berdebar kencang.

 

 

/

Itu adalah penampilan panggung pertamaku. Saat lampu-lampu yang menyilaukan menyala, aku begitu gemetar hingga tak bisa berkata apa-apa, tapi kau meraih tanganku. Aku masih ingat dengan jelas wajahmu yang tersenyum, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kita bisa melakukannya.

 

Saat itu, aku percaya seluruh dunia menyemangatiku. Musik mengalir, tepuk tangan dan sorak sorai menggema, dan kau berada tepat di sampingku, tersenyum dan mengikuti irama. Malam itu, saking bahagianya hingga hampir menangis setelah pertunjukan, aku ingin menyimpan kenangan itu untuk waktu yang lama.

 

 

 

Namun tahap terakhir berbeda. Saat pergelangan kakiku tak berdaya dan tubuhku ambruk, dunia dengan mudah memalingkan muka dariku. Sorak sorai berubah menjadi jeritan, dan di bawah lampu-lampu itu, aku roboh, seolah tak akan pernah bisa berdiri lagi.

 

Kau mengulurkan tanganmu, tetapi aku tidak menerimanya. Kau menggelengkan kepala dan berpaling, meminta maaf, mengatakan kau tak sanggup lagi. Keputusasaan yang terpancar di wajahmu masih terbayang jelas di benakku. Sejak saat itu, aku percaya aku harus melupakan segalanya untuk bertahan hidup.

 

 

/

Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan dan menahan jeritan. Air mata mengalir, bercampur dengan hujan.

 


"Sejak hari itu… aku tak pernah bisa berdiri di atas panggung lagi. Sangat menakutkan melihat mata orang-orang berpaling, melihat mereka hancur karena satu kesalahan yang kubuat. Bahkan denganmu di sisiku, itu tidak berubah. Pada akhirnya, akulah yang hancur berantakan."

 

 

Jeongguk menggertakkan giginya.

 


"Jadi kau juga menjauhiku? Aku sudah bilang untuk tetap tegar. Aku sudah bilang tak apa kalau aku hancur. Kenapa kau meninggalkanku sendirian?"

 

 

Suaranya bergetar karena amarah dan kebencian yang terpendam. Aku tak bisa mengangkat kepalaku.

 


“Aku tidak ingin mengecewakanmu. Itulah sebabnya… Itulah sebabnya aku memalingkan muka.”

 

 

Jeongguk menggelengkan kepalanya. Matanya berkaca-kaca.

 


"Itu keputusanmu. Kau tidak bertanya padaku, kau tidak mendengarkan perasaanku. Aku ingin bersamamu sampai akhir."

 

 

Tangannya berhenti di udara. Dia mengulurkan tangan seolah ingin meraihnya, tetapi secara naluriah aku mundur.

 


“Bagiku… itu bukanlah cinta. Itu adalah beban.”

 

 

Saat aku berbicara, hatiku terasa seperti terkoyak, tetapi pada saat yang sama, aku merasa terdorong untuk mengungkapkan kegelapan terdalamku. Tatapan Jeongguk bergetar. Suara hujan semakin keras.

 

 

“Jika kamu benar-benar berpikir begitu…”

 


Dia bergumam pelan.

 


“…Apa yang harus saya lakukan?”

 

 

Aku tak bisa menjawab. Air mata dan hujan mengalir di wajahku. Di jalan yang basah, kami berdiri sedekat mungkin, namun sekaligus dengan jarak yang sangat jauh.