Langit malam di atas Seoul tampak tandus, tercekik oleh polusi cahaya.
Sama seperti kehidupan Mari—dulunya bersinar, kini redup hingga tak dapat dikenali lagi.

“Bagaimana semuanya bisa jadi begitu salah?”
Saat kuliah dimulai, dia mengira semuanya akan berjalan lancar.
Beasiswa. Harapan keluarganya. Masa depan yang cerah dan menjanjikan.
Namun, dia telah mempercayai orang yang salah.
Pertama, investasi kecil.
Kemudian, ikut menandatangani pinjaman.
Dan akhirnya, semuanya lenyap. Uang. Teman. Keluarga.
“Nomor yang Anda hubungi sudah tidak aktif.”
Suara dingin dan seperti robot itu memecah keheningan.
Dulu mereka disebut "keluarga," tetapi sekarang mereka menolak menjawab teleponnya.
Ini adalah kunjungan ketiganya ke atap gedung tersebut.
Dua kali pertama, petugas keamanan telah menghentikannya.
Kali ini, tidak ada seorang pun di sekitar.
.
.
.
[Atap Gedung]
Mari berdiri di depan pagar yang berkarat.
Angin menerpa pakaiannya dan menyengat kulitnya.
Suara bising kota di bawah terasa seperti berasal dari dunia lain.
"Saya minta maaf."
Dia tidak yakin permintaan maaf itu ditujukan kepada siapa.
Dia meletakkan jari-jari kakinya di atas tepi.
Tubuhnya mencondong ke arah kehampaan.
Angin menerpa rambutnya dengan kencang.
"Mungkin… akan lebih mudah setelah ini berakhir."
Waktu melambat.
Dia hanya mendengar desiran angin.
Kemudian-
[Th[Sayap Hitam Muncul]
“…?”
Tidak ada kejutan. Tidak ada rasa sakit.
Dia tergantung di udara di tempat yang seharusnya menjadi lokasi jatuhnya.
Di hadapannya berdiri seorang anak laki-laki.
Berpakaian serba hitam.
Mata berwarna perak dingin.
Dan sayap yang lebih gelap dari malam itu sendiri.
Bulu-bulu beterbangan dari ujung sayapnya, menyentuh bahu Mari.
Dingin. Seperti es.
Bocah itu menatapnya dengan tajam.
Tidak ada kemarahan.
Tidak ada belas kasihan.
Hanya aura kelelahan dan kejengkelan.

"Anda..."
Suaranya rendah dan dalam.
"Apakah kamu begitu putus asa hingga ingin mati?"
[Kesunyian]
Mari terdiam kaku, tak mampu mengalihkan pandangannya.
Bukan rasa takut. Bukan rasa ingin tahu.
Hanya… mati rasa.
Bocah itu menghela napas dan mengulurkan tangannya.
"Jika kau hanya akan melompat, mengapa repot-repot berpegangan selama ini?"
"Siapa kamu…"
Mari berhasil berbisik.
Suaranya hampir tak terdengar.
Matanya sedikit menyipit.
"Kamu berdiri di tepi."
"Dan aku…"
Dia berhenti sejenak untuk menarik napas.
"Akulah yang mengatur kematianmu. Namaku Sunoo."
Sayapnya bergeser, menyebarkan bulu-bulu hitam ke angkasa.

"Seorang Malaikat Maut."
